|
Aku dan Ibuku bersama Dr. Edi Setiyoso, SpB |
Aku seorang mahasiswi jurusan sistem informasi di salah satu universitas swasta di Depok, Jawa Barat. Cerita ini berawal dari kebiasaanku yang sangat suka makanan pedas. Tak lengkap rasanya jika aku makan tanpa ada rasa pedas di lidahku. Dari kecil aku sudah divonis terkena maag. Tak dianggap serius, penyakit ini malah semakin menjadi. Sering kali aku bolos kuliah karena sakit perutku yang sangat mengganggu. Tak hanya sakit perut, bahkan sampai muntah-muntah. Beberapa kali aku masuk rumah sakit karena gangguan di lambungku. Dokter bilang aku hanya terkena dispepsia, gangguan lambung yang menyebabkan mual, muntah dan sebagainya.
Awal Maret 2011 ini, aku memeriksakan diri ke dokter internist di Rumah Sakit Bhakti Yudha, yaitu Dr. Sinarta Natasamudra, SpPD. Kesibukan kuliahku akhir-akhir ini memang sangat padat. Gejala awal yang ku rasakan hanyalah mual dan nyeri di perut bagian kanan bawah. Sebenarnya nyeri itu tidak terlalu sakit, tapi memang rasanya sangat tidak nyaman. Setelah diperiksa, dokter curiga kalau usus buntuku sedang meradang. Aku disarankan untuk melakukan rontgen appendikogram, rontgen untuk melihat apakah usus buntuku masih bagus atau tidak. Akhirnya aku melakukan rontgen itu. Malam sebelum rontgen, aku harus minum barium, obat khusus untuk pasien yang akan melakukan rontgen appendikogram. Obat itu mirip seperti terigu. Warnanya putih bersih, tapi aromanya seperti vanilli. Aku harus menyeduh barium itu dengan segelas air hangat dan meminumnya. Rasanya sungguh diluar dugaanku, sangat tidak enak. Esok paginya aku melakukan rontgen. Dari hasil rontgen, ternyata aku terkena usus buntu kronis. Dokter menyarankan agar aku melakukan operasi, tapi tidak harus saat itu juga. Jika usus buntuku tidak dioperasi, sakit yang ku rasakan akan selalu muncul. Lebih parah lagi, usus buntuku bisa pecah dan dapat menyebabkan kematian. Aku masih menolak saran dokter karena situasinya belum terlalu berbahaya. Dokter juga bilang kalau aku mau melakukan operasi, aku bisa melakukannya pada saat aku libur semester kuliah. Akhirnya aku hanya diberi obat untuk mual dan antibiotik saja.
Beberapa hari setelah aku minum obat dari dokter, sakit di perut bagian kanan bawahku semakin menjadi. Rasanya sangat ngilu sampai ke paha kanan. Sebelumnya aku tidak pernah merasakan sakit seperti ini. Pagi itu, Selasa 8 Maret 2011, kepalaku sangat sakit dan aku muntah. Badanku rasanya sangat lemas. Perut bagian kanan bawahku rasanya juga semakin tidak karuan. Akhirnya aku dibawa ke UGD Rumah Sakit Bhakti Yudha oleh ibu dan adikku.
Sesampainya di sana, aku diperiksa oleh dokter jaga UGD. Dari gejala yang timbul dan hasil rontgen yang telah ku lakukan beberapa hari sebelumnya, dokter menyarankan agar usus buntuku yang kronis segera dioperasi. Aku dilangsung dipasang selang infus sambil menunggu dokter bedah umum yang akan datang memeriksa. Saat itu dokter bedah umum yang bertanggung jawab adalah Dr. Edi Setiyoso, SpB. Tak lama kemudian, dokter datang. Karena hasil rontgen appendikogram sudah ada, dokter meminta agar dilakukan operasi pengangkatan usus buntu malam itu juga.
Pukul 10 pagi, aku dibawa ke kamar perawatan. Saat itu aku harus mulai puasa untuk persiapan operasi jam 7 malam nanti. Berbagai tes juga ku lakukan. Dari tes darah lengkap sampai tes alergi obat antibiotik. Katanya ada beberapa obat antibiotik yang harus disuntikkan ke tubuhku sebelum aku melakukan operasi. Yang bisa ku lakukan hanyalah pasrah, berharap sakit yang ku rasakan cepat hilang.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah pukul 5 sore. Rasa takut mulai menyerangku. Tapi aku sedikit terhibur karena banyak saudara dan teman-teman yang datang. Aku banyak bercerita dengan teman-temanku tentang rasa takut yang sedang ku alami. Ada seorang teman yang pernah melakukan operasi usus buntu di rumah sakit ini juga. Dia menceritakan pengalamannya saat operasi sekitar 2 tahun yang lalu. Agak menyeramkan sih, tapi dia berusaha menghiburku. Waktu operasi, dia tidak merasakan sakit sama sekali. Tapi pasca operasi memang agak sakit. Sekali lagi, yang bisa ku lakukan hanyalah pasrah dan berdoa.
Tak lama kemudian, ada seorang suster yang masuk ke ruanganku sambil mendorong kursi roda. Aku sudah takut saja. Aku pikir akan dioperasi saat itu juga. Ternyata aku akan dibawa ke poli internist untuk konsultasi ke dokter internist ku. Setelah selesai konsultasi, tiba waktu sholat maghrib. Aku sholat, berdoa meminta kesembuhan dan meminta yang terbaik untukku. Beberapa saat kemudian, dokter anestesi datang ke ruanganku. Dokter menjelaskan tentang pembiusan yang akan dilakukan saat operasi nanti. Katanya aku hanya akan dibius lokal. Jadi aku akan sadar selama operasi berlangsung. Obat anestesinya akan disuntikkan ke daerah tengah tulang belakangku. Setelah itu aku akan mati rasa dari daerah perut sampai ke kaki. Rasa takutku muncul lagi setelah dokter menjelaskan proses demi proses yang akan ku alami nanti. Tapi dokter sedikit menenangkanku. Katanya aku tidak akan merasakan sakit apa-apa. Aku pun berharap begitu. Semoga operasinya berjalan lancar dan aku tidak merasakan sakit sama sekali.
Tepat pukul 7 malam, aku dibawa oleh suster ke ruang operasi dengan menggunakan kursi roda. Sebelum itu, aku dipeluk oleh ibuku, saudara-saudaraku dan teman-temanku. Mereka berusaha menenangkan hatiku. Bukannya tenang, aku malah menahan tangis. Tak biasanya aku dipeluk seperti itu. Aku mulai memasuki ruang operasi. Ternyata aku harus ganti baju khusus untuk operasi. Bajunya berwarna hijau gelap. Aku juga harus memakai penutup kepala. Suasana ruang operasi sangatlah menyeramkan bagiku. Para dokter dan suster memakai baju hijau, seperti yang sering ku lihat di film atau sinetron. Ruangannya sangatlah dingin. Terdapat dua buah lampu besar di atas tempat tidur operasi. Tak lama kemudian, aku disuruh duduk di atas tempat tidur. Kedua tanganku dipegang sangat erat oleh para suster. Aku akan disuntikkan obat bius di tulang belakangku. Awalnya aku agak heran kenapa tanganku dipegang begitu erat. Ternyata penyuntikkan obat bius itu sangat menyakitkan. Tak hanya itu, menurutku ini adalah penyuntikkan terlama yang pernah aku rasakan. Sekitar 15 detik aku dilarang bergerak terutama di daerah tulang belakang. Setelah selesai penyuntikkan obat bius, aku dibaringkan di atas tempat tidur. Efek obat bius itu mulai terasa. Aku mulai sulit menggerakkan kakiku. Beberapa saat kemudian, aku sama sekali tidak bisa menggerakkan kakiku. Aku menyentuh kaki dan perutku, tapi aku tidak bisa merasakan sentuhannya. Kedua tanganku dipasang berbagai alat. Ada alat tensi darah otomatis, ada juga alat untuk memantau denyut nadiku. Lalu aku dipasang oksigen untuk membantu pernapasanku. Tak lama kemudian, Dokter Edi dan para asistennya datang. Perasaanku mulai tidak karuan. Takut, cemas dan segala pikiran negatif membayangiku. Tapi Dokter Edi dan para suster berusaha menenangkanku. Operasi segera dimulai. Di depanku terdapat kain hijau tebal yang sengaja dipasang agar aku tidak bisa melihat proses operasi yang tentunya tidak ingin aku lihat. Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa. Tapi suasana ruang operasi menjadi sangat akrab. Dokter Edi, para asisten dan suster mengajakku ngobrol agar aku tidak takut. Ternyata cara itu memang ampuh. Waktu berjalan begitu cepat dan operasi sudah selesai. Saat itu menunjukkan pukul 19.45 malam. Dokter Edi menemui keluargaku untuk memberitahu bahwa operasi telah selesai. Sebelumnya, Dokter Edi menunjukkan padaku sebuah tabung bening kecil yang berisi usus buntuku yang telah dipotong. Panjangnya sudah mencapai 7cm dan sudah terjadi perlengketan. Agak takut dan kaget melihatnya. Tapi aku bertambah kaget ketika aku ditunjukkan foto saat perutku sedang dibelah. Foto itu diambil oleh asisten Dokter Edi. Satu kata, mengerikan.
Setelah operasi selesai, aku diharuskan untuk berada di ruang observasi. Agar kondisiku tetap stabil pasca operasi, aku baru diizinkan keluar ruang operasi jam setengah 11. Keluargaku telah menungguku di depan ruang operasi. Terlihat wajah mereka yang sangat lelah. Teman-temanku sudah terlebih dahulu pulang karena hari sudah larut malam. Aku segera dibawa ke kamar perawatan dengan menggunakan tempat tidur dorong. Ajaibnya, aku masih sadar total dan tidak mengantuk sama sekali. Lalu hal yang ku takutkan terjadi. Sekitar jam 1 malam, efek obat biusku mulai habis dan rasa sakit pasca operasi mulai terasa. Rasanya sangat sakit dan perih. Ditambah lagi, asam lambungku naik. Aku memang mempunyai riwayat penyakit gastritis yang menyebabkan produksi asam lambungku berlebih. Mungkin karena terlalu lama tidak makan, lambungku jadi sakit. Berulang kali aku memanggil suster karena lambungku yang teramat sakit. Suster hanya bisa memanggil dokter jaga malam. Lalu aku beberapa kali disuntikkan obat penahan rasa sakit. Bukannya hilang, malah rasanya semakin sakit. Hasilnya aku tidak tidur sampai pagi karena rasa sakit pasca operasi dan sakit di lambungku.
Waktu berjalan begitu lama. Sakit yang ku rasakan juga tak kunjung hilang, malah semakin sakit. Air mata pun tak mampu ku tahan. Aku hanya bisa berteriak memohon pertolongan. Suster pun tidak bisa berbuat apa-apa karena beberapa jam sebelumnya aku sudah disuntikkan obat penghilang rasa sakit. Jika obat itu disuntikkan lagi, maka aku akan kelebihan dosis obat. Pukul 9 pagi, aku sulit bernapas. Dadaku sangat sesak. Lalu aku langsung dipasang selang oksigen oleh suster. Saat itu aku hanya bisa menangis dan menangis. Tak lama kemudian, Dokter Edi datang ke kamarku. Ibuku memberitahu Dokter Edi tentang sakit yang ku alami dari semalam. Lalu aku diberikan obat penghilang rasa sakit pasca operasi dan obat penguat lambung. Aku juga sudah boleh makan dan minum dengan porsi tertentu. Tapi aku hanya boleh makan bubur sumsum. Tak lama kemudian, aku muntah. Anehnya, setelah muntah aku merasa lebih baik. Lambungku tidak lagi terlalu sakit. Sehari itu aku benar-benar dibuat tak berdaya karena sakit pasca operasi dan sakit di lambung.
Sehari kemudian, Kamis 10 Maret 2011, Dokter Edi menyarankan agar aku mulai belajar untuk miring kanan dan kiri. Sebelum operasi, itu adalah hal yang sangat mudah dilakukan. Tapi ternyata melakukannya setelah operasi sangatlah sulit. Aku harus menahan rasa sakit, tapi aku harus melakukannya. Jika aku tidak mencoba untuk miring kanan dan kiri, otot perutku akan kaku dan proses pemulihanku akan semakin lama.
Besoknya, Jumat 11 Maret 2011, aku mulai latihan berjalan. Rasanya sakit sekali. Untuk berdiri tegap pun sangatlah sulit. Tapi aku harus latihan berjalan agar ototku tidak kaku. Dari tempat tidurku ke kamar mandi saja memerlukan waktu sekitar 3 menit. Padahal jaraknya hanya sekitar 3 meter. Dokter Edi menjanjikan jika hari itu aku sudah mulai latihan jalan, besoknya aku diperbolehkan pulang ke rumah. Jadi aku semangat untuk latihan jalan meskipun rasanya sangat sakit.
Pagi itu, Sabtu 12 Maret 2011, Dokter Edi datang ke kamarku. Akhirnya dokter mengizinkanku pulang ke rumah. Tapi aku dilarang melakukan kegiatan-kegiatan berat. Dokter memberiku obat penghilang rasa sakit, obat anti radang dan obat antibiotik yang harus ku minum selama di rumah. Aku diwajibkan untuk kontrol ke Dokter Edi hari Rabu. Sebelum meninggalkan rumah sakit, perbanku diganti dengan perban anti air yang baru. Setelah itu, aku pulang ke rumah. Senang rasanya bisa kembali ke rumah. Walaupun keadaanku belum terlalu sehat.
Beberapa hari di rumah membuat keadaanku semakin membaik. Hari Selasa tanggal 15 Maret 2011, aku memutuskan untuk pergi ke kampus. Ada 3 praktikum yang harus aku lakukan. Jika aku tidak datang, maka aku akan mengulang mata kuliah praktikum tersebut semester depan. Akhirnya aku pergi ke kampus dengan diantar oleh ibuku. Ternyata praktikumnya ada di lantai 4. Mau tidak mau aku harus naik tangga ke lantai 4 karena di gedung itu tidak ada lift. Setelah selesai praktikum, aku pulang. Sesampainya di rumah, badanku rasanya mau remuk. Aku hanya bisa terbaring di tempat tidurku.
Besok harinya, Rabu 16 Maret 2011, aku datang ke rumah sakit untuk kontrol ke Dokter Edi. Aku menceritakan pengalamanku setelah ke kampus kemarin. Dokter hanya menyarankan agar aku tidak terlalu capek, tapi aku harus tetap beraktivitas ringan agar ototku tidak kaku. Jahitanku juga sudah mulai kering. Aku dijadwalkan untuk kontrol lagi ke Dokter Edi pada Hari Sabtu.
Hari Jumat siang saat aku sedang di kampus, tiba-tiba ada sedikit bercak darah diperbanku. Aku pikir tidak berbahaya, jadi aku tidak berbuat apa-apa. Tapi ternyata darah tersebut semakin banyak sampai tembus ke luar celana panjangku. Karena panik, aku langsung menelepon ibuku dan segera pergi ke UGD Rumah Sakit Bhakti Yudha. Sesampainya di sana, dokter jaga UGD segera membukan perbanku yang sudah berlumuran darah. Ternyata bukan hanya darah saja yang keluar, melainkan juga nanah. Lalu di daerah sekitar jahitanku di tekan-tekan agar seluruh nanahnya keluar. Rasanya sakit bukan main. Setelah darah dan nanahnya tidak lagi keluar, jahitanku dibungkus kassa steril dan aku diperbolehkan pulang.
Keesokan harinya adalah jadwalku kontrol ke Dokter Edi. Aku dijelaskan mengapa jahitanku bisa berdarah dan bernanah. Ternyata kasus seperti ini jarang terjadi. Ada infeksi sekitar 2mm di bawah jahitanku. Malah bagus jika darah dan nanah itu bisa keluar sendiri. Kalau itu tidak bisa keluar, aku akan demam dan jahitanku harus dibongkar lagi untuk mengeluarkan nanah tersebut. Aku hanya bisa bersyukur karena dibalik semua kejadian yang ku alami, ternyata ada hikmah yang bisa ku ambil.
Proses penyembuhanku memang terbilang lama, hampir 1 bulan pasca operasi. Aku harus bolak balik ke rumah sakit hamper setiap hari untuk kontrol jahitanku. Tapi Alhamdulillah, sekarang aku sudah lebih sehat dari sebelumnya. Terima kasih yang sebesar-besarnya ku ucapkan untuk keluarga dan teman-teman yang telah mendoakan dan selalu menemaniku. Tak lupa juga terima kasih yang sangat besar untuk Dr. Edi Setiyoso, SpB, Dr. Sinarta Natasamudra, SpPD dan para suster yang telah sabar merawatku saat aku sakit. Semoga ada hikmah yang bisa diambil dari cerita ini..